HarianPapua.co – Permintaan gugatan UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilayangkan oleh dua stasiun televisi swasta, RCTI dan iNews dinilai sangat tidak tepat oleh pengamat media.
Salah satunya Enda Nasution yang menilai bahwa gugatan yang dilayangkan dua stasiun televisi swasta tersebut sangatlah tidak tepat.
“Gugatannya kurang tepat ya. Karena penyiaran yang dimaksud ini kan definisi dari broadcasting itu adalah menggunakan frekuensi publik,” tegas Enda, Kamis (27/8).
lanjut Enda, media televisi, radio diatur dalam Undang-undang Penyiaran. Sedangkan jika berbicara penyiaran yang menggunakan menggunakan data atau internet maka tidak ada ruang publik yang perlu diregulasi.
Memang, kata Enda, mungkin siaran di media sosial bakal menggeser televisi, terutama dari aspek hiburan. “Tapi bukan itu isunya, tapi mana yang perlu diregulasi dan mana tidak pada tempatnya untuk diregulasi. Aturan yang sudah ada aja,” tutut Enda.
Selain dapat mengancam kebebasan berekspresi, menurut Enda, gugatan tersebut juga bisa menghambat kemudahan orang untuk berkomunikasi. Apalagi sekarang ini beberapa platform media sosial, seperti Zoom, Youtube, Instagram dan lainnya tidak hanya digunakan untuk hiburan semata tapi juga dimanfaatkan oleh para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) memperkenalkan atau memasarkan produknya.
“Menurut saya, gugatan keduanya itu bisa menyasar lebih luas lagi, tidak hanya soal live di media sosial. Kita harus kawal proses dan putusannya,” kata Enda.
Sebelumnya, MK pada bulan Juni 2020 silam menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Para Pemohon melakukan pengujian materiil UU Penyiaran Pasal 1 angka 2. Para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena menyebabkan adanya pelakukan yang berbeda (unequal treatment).
Perlakuan berbeda tersebut terjadi antara para pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.
“Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran,” kata salah satu kuasa hukum para pemohon, Imam Nasef.
Discussion about this post